MASIH ADAKAH MAKNA 42
Rohana masih berdiri tegak, menunggu wanita tua yang melenggang mendekat, tapi sama sekali tak merasa bahwa ada yang sedang memperhatikannya. Ia berjalan sendiri, tampak gelisah. Lalu ia terkejut ketika ada yang memanggil namanya.
Wanita itu memang Birah. Ia berhenti menatap orang yang memanggilnya. Rasanya seperti kenal, tapi lupa siapa, dan kenal di mana.
“Birah kan?” Rohana mengulangnya. Menyapa manis, tidak seperti biasanya yang menganggap Birah adalah musuh, saingan, dan kebenciannya.
Birah mengejapkan mata, mencoba mengingat.
“Siapa ya?” tanyanya tanpa bisa menemukan jawabannya.
“Aku Rohana. Kamu sudah lupa pada saudarimu?”
Birah tertegun. Ia benar. Wanita dihadapannya sudah diingatnya. Wajah itu memang wajah Rohana. Tapi ada yang berubah. Penampilannya dengan memakai hijab, tatapan matanya ramah dan mulutnya menyapa manis. Birah terpana. Saudarimu? Sejak kapan Rohana mengakuinya sebagai saudara? Apakah dia sedang bermimpi? Penampilan Rohana yang semula gemerlap dan mentereng, tak lagi tampak. Ia memakai hijab sederhana, tanpa gemerlap permata seperti dulu.
“Hei… kenapa bengong? Apa tiba-tiba kamu menjadi bisu?”
Tapi omelan itu memang gaya Rohana sejak dulu. Hanya saja saat mengomel kali ini ada senyum tersungging di bibirnya yang mulai keriput.
“Kamu benar-benar lupa pada saudarimu?”
“Ti … tidak, aku hanya sedikit lupa. Kamu … berubah.”
Rohana tertawa. Berubah menjadi tua, maksudmu? Ya iyalah, berapa puluh tahun tidak pernah berjumpa, dan aku sudah berubah menjadi nenek-nenek. Tapi kamu masih kelihatan cantik.
Rohana menarik tangan Birah, diajaknya duduk di kursi yang ada di lobi.
“Aku senang bertemu kamu. Aku sedang berpikir untuk menemui kamu, dan berbicara banyak.”
“Oh ya? Tapi kenapa tanganmu itu?”
“Hanya kecelakaan kecil. Sedikit retak. Kemarin yang kanan juga sakit digerakkan, sekarang sudah tidak. Dokter memberiku obat. Apa yang kamu lakukan di sini? Ini rumah sakit, apa kamu nyasar?”
“Nyasar bagaimana? Iya aku tahu, ini rumah sakit. Aku memang mau datang kemari.”
“Mas Murtono yang sakit.”
“Mas Murtono sakit di sini? Eh, kamu akhirnya menikah dengan dia?”
“Jangan konyol. Aku tidak memikirkan pernikahan sejak lama. Mas Murtono itu majikanku.”
“Ya. Mas Murtono ke Jakarta, ingin ketemu anaknya. Katanya rindu pada Tegar, cucunya. Aku ikut karena aku juga ingin ketemu anakku. Kami mengendarai mobil, tapi begitu masuk Jakarta, mas Murtono merasa sakit. Dia memang sering sakit-sakitan akhir-akhir ini. Lalu sopir membawanya ke rumah sakit ini.”
“Sejak kapan kalian datang?”
“Baru pagi tadi. Aku juga sudah mengabari Minar, tapi entah mengapa panggilanku tidak diangkat. Sedangkan aku tidak tahu nomor ponsel Satria.”
“Minar baru saja pulang. Ia bersama Monik, istri Tomy. Ayah mertuanya juga dirawat, tapi sore ini sudah mau pulang.”
“Kenapa dia tidak menjawab panggilanku ya.”
“Coba aku telpon Satria. Jadi kalian belum bertemu Satria ataupun Minar?”
Birah terus saja menatap Rohana. Banyak yang berubah. Tapi Birah bersyukur, tak ada rasa permusuhan yang tersirat di wajah itu. Sebenarnya sudah sejak lama dia ingin berbaikan dengan Rohana, tapi Rohana selalu memusuhinya.
“Sudah aku kabari Satria. Dia akan segera datang, setelah nyamperin Minar di rumahnya.”
“Terima kasih, sekarang aku mau melihat keadaan mas Murtono, tadi sopir yang menungguinya, aku baru saja membelikan makanan untuk sopir. Kasihan sejak tadi dia belum makan.”
“Tunggu dulu Birah, aku ingin mengatakan sesuatu pada kamu.”
“Katakanlah, ada apa?”
Tiba-tiba Rohana merangkul Birah dengan sebelah tangannya. Ia membisikkan kata maaf di telinganya.
“Maafkan aku, Birah. Aku selalu jahat sama kamu.”
Birah membalas rangkulan itu dengan erat.
“Aku juga pernah jahat sama kamu. Aku senang kamu mau mengakui aku sebagai saudarimu.”
“Banyak cobaan di hari-hari terakhir ini, yang kemudian menyadarkan aku bahwa langkahku adalah tidak benar. Banyak sekali dosa yang aku lakukan. Tak bisa aku ceritakan secara rinci. Yang jelas aku sudah bertobat.”
“Syukur Alhamdulillah, bahagia aku mendengarnya. Sekarang aku tidak sendiri, karena aku punya saudari,” kata Birah penuh haru.
“Ayo kita temui mas Murtono,” lanjut Birah sambil menggandeng tangan Rohana.
“Apa kabar mas Sutar, bekas suami kamu?” tanya Rohana sambil berjalan.
“Mas Sutar sudah hidup bahagia dengan istrinya yang cantik. Mereka tidak punya anak kandung, tapi memiliki beberapa anak asuh. Perbuatan yang sangat mulia, mengangkat anak-anak yatim piatu, disekolahkan dan dipenuhi semua kebutuhannya.”
“Kekayaan yang menjadi barokah karena dipergunakan untuk perbuatan mulia,” kata Rohana.
Murtono terbaring pucat, tampak tua dan lelah. Ia terkejut melihat Rohana dengan penampilannya sekarang.
“Aku hampir tidak mengenali kamu,” lemah kata Murtono.
“Sudah puluhan tahun tidak ketemu, tentu saja kamu tidak mengenali aku. Kamu tampak kurus dan pucat. Sakit apa kamu ini?”
“Aku kan sudah tua, jadinya ya sakit tua. Aku tidak sekuat dulu, sering jatuh sakit, badanku lemah.”
“Kalau badanmu lemah, mengapa ke Jakarta naik mobil? Di perjalanan kan lama, lelah kamu jadinya.”
“Katanya dia sedang merasa sehat, ingin memberi kejutan pada Satria, jadi tidak mengabari kalau mau datang,” sela Birah setelah memberikan bungkusan makanan kepada sopirnya.
“Sudah tua, harus tahu diri dan bisa mengukur kekuatan, jangan merasa gagah, ternyata sudah loyo,” omel Rohana.
“Lama sekali Tegar tidak menengok kakeknya ini,” keluh Murtono.
“Tegar sedang menggarap skripsi. Kalau liburan dia pasti aku suruh datang menengok kamu.”
“Mengapa mereka juga belum datang?”
“Aku sudah mengabari Satria, ini Jakarta, kemana-mana jauh. Bukan di Solo, bisa naik becak, lalu sampai di tujuan.”
“Sebenarnya apa yang kamu rasakan?”
“Badanku lemas, gula darah tinggi. Tensiku juga naik turun. Tapi sebenarnya aku sudah merasa sehat, karenanya aku kemari naik mobil. Sambil jalan-jalan. Birah jarang sekali pergi ke mana-mana.”
“Jangan aku kamu jadikan alasan. Aku memang tidak suka jalan-jalan. Kamu sendiri yang ingin naik mobil,” gerutu Birah.
“Maksudku biar kamu tidak duduk bengong saja di toko.”
“Tapi kalau karena ini kamu jadi sakit, aku ikut memikirkannya.”
“Ya sudah, lagi sakit diomelin, nanti tambah sakit dia.”
“Dokter tadi bilang, aku hanya kelelahan.”
Ketika Satria datang bersama Minar dan Tegar, Tomy juga baru datang untuk menjemput ayahnya. Tomy yang tadinya mengira Satria akan ikut menjemput ayahnya, terkejut ketika mendengar bahwa ayah Satria juga sakit.
Pak Drajat menengok sebentar, karena Satria juga dianggap sebagai putranya sendiri. Tapi karena pak Drajat juga sudah lelah menunggu, maka ia hanya mampir sebentar, sekedar menunjukkan rasa simpati dan mendoakan kesembuhannya.
Satria terkejut melihat ayahnya yang tampak kurus dan pucat.
"Ponselku tertinggal di rumah, jadi tidak tahu kalau ibu menelpon," kata Minar.
“Bapak kalau kangen sama kami, cukup menelpon saja, kami yang akan datang menemui Bapak.”
“Bapak hanya lelah, kata dokter. Bapak pulang saja ke rumah kamu,” kata Murtono.
“Satria menemui dokternya dulu, kalau benar bahwa Bapak tidak apa-apa, maka Bapak akan saya bawa pulang.”
“Saat ini aku juga menginap di rumah Satria, nanti aku mau sekamar dengan Birah,” kata Rohana dengan wajah berseri.
Birah mengangguk dan tak kalah senangnya. Ini luar biasa, seperti mimpi bisa berdamai dengan Rohana yang tadinya begitu kasar dan kejam terhadapnya. Satria juga senang melihat kedekatan mereka.
Benar-benar pertemuan yang tak disangka-sangka, yang menuntun sebuah niat baik sehingga benar-benar menjadi kebaikan.
Beberapa hari Murtono di rumah Satria, sehingga rumah Satria terlihat ramai meriah.
Diam-diam Tegar mendekati sang kakek dan membisikkan sesuatu.
“Kakek, sebentar lagi akan ada penganten lhoh.”
“Bukan Kek, anaknya om Tomy. Boy. Kakek harus mendoakan supaya Tegar juga segera menikah ya,” kata Tegar seenaknya.
“Kamu sudah ingin menikah?”
“Tapi Tegar harus lulus dulu, lalu bekerja, baru boleh menikah.”
“Kelihatannya kamu sudah punya pacar ya?”
“Belum jadi pacar sih Kek, tapi sudah lama Tegar naksirnya.”
“Cantik Kek, tapi katanya dia ingin jadi dokter. Nanti kalau Kakek sakit, biar dia yang merawat Kakek.”
“Kamu mendoakan kakek sakit?”
“Bukan Kek, namanya orang kan kadang-kadang juga sakit, masuk angin, misalnya.”
“Dia sudah sekolah dokter?”
“Baru mau Kek, dia baru hampir setahun lulus SMA.”
“Memangnya kenapa kalau masih kecil? Lama-lama juga akan menjadi besar kan?”
“Kakek jangan hanya tertawa. Doakan bisa jadian ya Kek, soalnya kata ibu kalau belum lulus Tegar belum boleh pacaran. Takutnya belum-belum sudah kedahuluan orang.”
Murtono semakin terbahak-bahak.
“Iya … iya, kakek doakan.”
“Besok, kalau Boy menikah, Kakek Tegar jemput ya, biar nanti bisa mengenal gadis yang Tegar sukai.”
“Iya, gampang. Masih lama kan? Doakan kakek sehat,” kata Murtono yang diam-diam ingat pada dirinya, yang jatuh cinta ketika masih sangat muda.
Sebulan telah berlalu. Rohana sudah bisa melepas gipsnya, walau masih harus berhati-hati. Di rumah Tomy sudah ada kesibukan, karena Boy akan menikah bulan depan. Kakek Drajat pulang sebentar, tapi kemudian kembali untuk mengawasi pernikahan cucunya yang diharapkan akan menjadi sebuah pesta yang meriah. Maklum, pak Drajat seorang pebisnis yang terkenal sukses sejak masih di usia muda. Banyak yang diundang, dan semuanya harus dijamu dengan hidangan yang sangat luar biasa. Tapi ada menu tradisional yang diusulkan Tegar dan disambut gembira oleh semua orang, karena menu itu adalah menu yang istimewa. Nasi Liwet Pak Trimo
Tegar hanya cengar cengir ketika sang ibu meledeknya atas usulan itu. Tapi itu usulan bagus. Diantara menu yang luar biasa mewah dan nikmat, ada menu tradisional yang jarang ada.
Disebuah tanah pemakaman, Rohana sedang menabur bunga. Itu makam Sofia, salah seorang teman yang meninggal setelah bertemu dengan dirinya.
Setelah berkomat kamit memanjatkan doa, Rohana berbisik lirih.
“Sofia, uang darimu tidak aku anggap sebagai pengembalian hutang. Hutangmu sudah aku anggap lunas. Uang itu aku sumbangkan ke beberapa rumah yatim piatu, semoga menjadi amal jariahmu,” kata Rohana bergetar.
Rasa haru kembali menyengat, atas sebuah langkah baik yang dilakukannya.
“Katakan Sofia, apakah semua yang aku lakukan ini, menandakan bahwa aku masih punya makna dalam hidup ini?”
Semilir angin siang menghembus lembut, terik yang semula menguasai alam sekitar, terasa lembut, ketika segumpal awan menutupi sang matahari. Ada kesejukan yang terus mengelus jiwanya, ketika Rohana meninggalkan tanah pemakaman itu.
Hingar bingar jamuan di resepsi pernikahan Boy dan Mia sedang berlangsung. Wajah-wajah penuh seri menghiasi setiap yang hadir di sana.
Tegar tiba-tiba mendekati kakek Murtono, dan menarik tangannya, ketika para tamu sedang mengelilingi meja-meja penuh hidangan lezat yang tersaji.
“Kakek, itu dia,” kata Tegar sambil menuding ke arah Binari yang sibuk melayani tamu yang memilih makan nasi liwetnya.
“Iya. Bukankah dia cantik?”
“Dia gadis penjual nasi liwet, atau pelayan restoran nasi liwet, atau apa?”
“Ayahnya punya warung nasi liwet yang terkenal. Ayo kakek nyobain.”
“Kakek sudah sering makan nasi liwet. Hampir setiap pagi kakek sarapan nasi liwet.”
“Tapi yang ini beda Kek. Ayolah.”
Pak Murtono tak berdaya ketika Tegar mengajaknya mengantre untuk mengambil nasi liwet karena peminatnya berjubel.
“Binari,” Tegar memanggilnya pelan.
Binari mengangkat wajahnya, dan tersenyum manis. Ia memakai hijab, karenanya ekor kuda yang menggemaskan itu tak lagi tampak.
“Ini kakekku,” katanya sambil mengambilkan sepiring nasi liwet yang sudah diracik.
“Oh, silakan kakek,” katanya lembut.
Kakek Murtono tersenyum. Tidak salah Tegar jatuh cinta padanya. Gadis itu cantik, lembut dan ramah.
“Bagaimana Kek?” kata Tegar sambil membawa sang kakek duduk kembali.
Tegar merangkul kakeknya dengan sebelah tangannya dengan riang.
Ketika itu pak Drajat sedang duduk, tak jauh dari Rohana dan Birah yang ikut diundang.
Sambil makan, pak Drajat mengatakan sesuatu.
“Rohana, besok aku sudah harus pulang karena ada urusan yang tidak bisa aku tinggalkan. Aku suka mendengar jiwa sosialmu yang sangat besar. Anak-anak menceritakan polah terjangmu. Setelah urusanku selesai, aku akan membuat sebuah panti asuhan untuk anak-anak yatim. Kamu aku serahi untuk mengelolanya.”
“Ya, kamu. Siapa lagi? Aku yakin kamu bisa mengelolanya. Kamu bersiaplah, setelah aku kembali lagi kesini, kita atur semuanya.”
“Masih adakah makna untuk hidupku?”
“Buat hidup ini penuh makna, karena di usia senja, kita sudah harus bersiap untuk menabung bekal untuk kita kembali menghadapNya.
Tergetar hati Rohana mendengarnya. Makna itu ada.
Rumi menatap wajah suaminya tak berkedip. Seperti mimpi ia mendengar kata-kata suaminya.
“Rumi, aku mencintaimu dan akan tetap mencintaimu, tapi ijinkanlah aku menikah lagi.”
Mencintai, tapi mencarikan madu untuknya?
Tungguin ceritanya di KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH.
Located just steps from the dazzling lights of Broadway and the pulsing energy of Times Square, Gallaghers Steakhouse takes its rightful place at the very heart of New York City. For over 90 years, this is where the city’s sports teams have announced their wins, where celebrities take their bows, and where Wall Street titans toast their deals.
With its trademark combination of classic cocktails, a wait staff that never forgets a name and – the best USDA prime dry-aged beef, fired over its signature hickory coals – Gallaghers serves up the authentic New York steakhouse experience locals treasure and visitors always remember.
K9 MAXWIN ialah situs slot gacor hari ini terpercaya yang telah bekerjasama dengan berbagai jenis provider ternama dan terkemuka dimana banyak sekali permainan terbaik dan terbaru yang telah disediakan oleh situs slot gacor terbaru dari situs K9 MAXWIN terpercaya 2024.